Ramallah – Sahabat Palestina Memanggil+-

Hari-hari ini rakyat Palestina memperingati 53 tahun tragedi kemunduran bangsa Palestina yang disebut hari “Naksah”, berupa “Perang Enam Hari”, yang terjadi pada tahun 1967, merupakan perang yang ketiga dengan Israel.

Perang berlangsung antara penjajah Israel dengan Mesir, Suriah, dan Yordania. Terjadi antara tanggal 5 hingga 10 Juni 1967. Hasil dari perang ini adalah penyempurnaan pendudukan Israel atas seluruh wilayah Palestina; al-Quds, Tepi Barat, Jalur Gaza, Golan Suriah, dan Sinai Mesir.

Sebelumnya penjajah Israel telah meningkatkan operasi provokatifnya terhadap Suriah dengan menggempur mediator yang bekerja di proyek Arab untuk mengalihkan anak sungai Yordan, menyerang para petani Suriah, dan menambah tingkat tantangan yang dihadapi pasukan Suriah. Hal ini mengarah pada intensifikasi bentrokan, yang memuncak di udara pada 7 April 1967, ketika berita berlanjut tentang tindakan militer yang diambil oleh penjajah Israel, terutama yang berkaitan dengan mobilisasi pasukannya di perbatasan Suriah. Hal ini mendorong Mesir untuk memenuhi komitmennya sesuai dengan Perjanjian Pertahanan Bersama Mesir-Suriah yang ditandatangani pada 4 November 1966, sehingga Mesir mengirim Kepala Staf Angkatan Bersenjata Mesir, Mayor Jenderal Mohamed Fawzi, ke Damaskus untuk menilai situasi di lapangan dan mengoordinasikan kerja sama.

Ketika dia kembali ke Kairo, Mesir menyatakan keadaan mobilisasi maksimal. Pasukan Mesir mulai bergerak dalam bentuk demonstrasi militer yang menembus jalan-jalan Kairo pada 15 Mei 1967 menuju Sinai. Kemudian pada 16 Mei 1967, pimpinan Mesir meminta komandan Pasukan Darurat Internasional di Sinai untuk menarik pasukan PBB. Kemudian, pada tanggal 23 Mei 1967, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser mengumumkan penutupan Selat Tiran bagi pelayaran Israel. Dengan demikian, Mesir telah menghilangkan dua dampak yang tersisa dari agresi tripartit pada tahun 1956.

Penjajah Israel menganggap penutupan Selat Tiran sebagai deklarasi perang. Sehingga Israel dengan dengan segera mempercepat langkahnya dan mempersiapkan diri secara militer dan politis untuk memulai agresi dengan dukungan dan restu dari Amerika Serikat.

Pasukan Suriah dan Mesir menuju ke garis depan pertempuran. Adapun Israel, mereka melakukan serangkaian langkah-langkah yang menunjukkan niat para pemimpin mereka dalam melancarkan agresi, seperti perombakan kabinet yang membawa Jenderal Moshe Dayan ke Kementerian Perang. Hanya dalam hitungan beberapa jam setelah itu, pasukan penjajah Israel sudah mulai melancarkan perang.

Pada pertengahan Mei 1967, dimulai persiapan tentara penjajah Israel untuk melancarkan agresi. Yaitu dengan memanggil pasukan cadangan rahasia, dan memobilisasi pasukan ke arah operasional, yang semakin mempergenting situasi militer di kawasan tersebut.

Sebagai hasil dari kegiatan politik internasional, terutama keinginan pemerintah Prancis pada saat itu untuk tidak menggunakan kekerasan, negara-negara Arab Mesir, Suriah dan Yordania berjanji untuk tidak melakukan perang dan menghentikan persiapan militer. Akan tetapi pimpinan komando militer Israel, dengan mendapatkan dukungan Amerika Serikat, memanfaatkan keadaan ini dan melancarkan agresi mendadak pada pagi hari tanggal 5 Juni 1967.

Israel melaksanakan rencana agresinya dengan melancarkan serangan udara dengan sengit dan tiba-tiba terhadap bandara-bandara militer dan pesawat-pesawat tempur Mesir, Suriah, dan Yordania. Sehingga pesawat-pesawat militer Israel bisa memberikan kontrol udara di medan perang selama masa perang.

Pada periode antara 5-8 Juni 1967, pasukan penjajah Israel bergerak menyerang. Mereka melancarkan serangan utama kei front Mesir. Serangan kedua ke front Yordania, di saat yang sama bergerak ke pertahanan aktif di front Suriah, dengan melancarkan serangan artileri dan serangan udara di posisi-posisi tentara Suriah di Golan selama masa periode tersebut.

Penjajah Israel melanjutkan serangannya pada 10 Juni 1967, meskipun PBB sudah mengeluarkan resolusi gencatan senjata. Pertempuran disuplai dengan kekuatan pasukan baru dari pasukan cadangan, terutama dari pasukan yang beroperasi ke arah Yordania.

Pasukan pendudukan penjajah Israel menduduki Tepi Barat, termasuk al-Quds (5878 km2) pada tahun 1967, setelah penarikan pasukan Yordania dan kembalinya mereka ke timur Sungai Jordan, dan mengurangi perbatasannya dengan Yordania dari 650 km menjadi 480 km (termasuk 83,5 km di sepanjang Laut Mati).

Penjajah Israel “menjarah” banyak kekayaan Tepi Barat, terutama sumber daya airnya. Mereka segera melakukan proses Yahudisasi al-Quds secara sistematis dan terencana. Dengan merebut wilayah luas Tepi Barat, penjajah Israel mampu memperbaiki posisi strategis dan militernya, menghilangkan segala ancaman militer yang mungkin mengancamnya, atau kehadiran tentara Arab yang terorganisir dan bersenjata di Tepi Barat, yang merupakan jantung geografis Palestina secara historis.

Di antara hasil perang tahun 1967 adalah dikeluarkannya Resolusi no. 242 oleh Dewan Keamanan PBB, pertemuan puncak “-Arab di Khartoum (yang dikenal dengan resolusi Khartoum), pemindahan puluhan ribu warga Palestina dari Tepi Barat, termasuk pemusnahan desa-desa secara keseluruhan, dan membuka pintu bagi pembangunan permukiman-permukiman ilegal Yahudi di al-Quds Timur dan Tepi Barat.

Israel tidak menerima logika perdamaian dan menolak resolusi-resolusi PBB, menentang piagam-piagam dan melanggar prinsip-prinsip lembaga internasional tersebut. Mereka terus merebut tanah dan menjarahnya untuk kepentingan pembangunan permukiman-permukiman ilegal Yahudi.

Perang enam hari pada Juni 1967 telah mengakibatkan kematian 15.000-25.000 warga Arab dan menewaskan 800 orang Israel. Di samping menghancurkan 70%-80% perangkat keras militer di negara-negara Arab.

(sumber : info palestina)

Bagikan